Npm : 35110769
Kelas : 2DB20
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Otonomi Daerah
Otonomi
daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat
di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa
perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun
masyarakat daerah.
Ketergantungan
pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali
tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru
semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta.
Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD)
tidak mencukupi.
Ketika
Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit,
menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi
berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua
sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk
melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah.
Dari
proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang
kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang
keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam
dan diikuti dengan kebijakan untuk mengambil hutang secara terus menerus.
Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran
20 sampai 30 persen dari APBN.
Akibat
lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah, membuat pejabat di
pemerintahan nasional tidak ada waktu untuk belajar tentang situasi global,
tentang international relation, international economy dan international
finance. Mereka terlalu sibuk menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus
masalah-masalah domestik yang seharusnya bisa diurus pemerintah daerah.
Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi masalah ketika krisis ekonomi datang dan
tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat ambruknya ekonomi
Indonesia dengan tuntutan demokratisasi telah membawa perubahan pada kehidupan
masyarakat, termasuk di dalamnya pola hubungan pusat daerah. Tahun 1999 menjadi
titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia. Pada masa
pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan Perwakilan
Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5 Tahun 1974 yang dianggap sudah
tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan
keadaan.Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang
diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan
pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah. Undang-Undang Otonomi
Daerah bertujuan untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong
daerah merealisasikan aspirasinya dengan memberikan kewenangan yang luas yang
sebelumnya tidak diberikan ketika masa orde baru.
2.
TUJUAN
Penyelenggaraan otonomi daerah
diharapkan bisa memacu prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah untuk bisa
menjalankan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu
diperlukan keseriusan agar kebijakan ini bisa berhasil dijalankan.
BAB II
ISI
ISI
1.
PEMBAHASAN
Otonomi daerah diselenggarakan untuk
menterjemahkan gagasan desentralisasi sebagai kritik atas kuatnya sentralisasi
yang diselenggarakan pada masa pemerintahan rezim Soeharto. Desentralisasi
dipilih sebab ia memiliki kelebihan dibanding sentralisasi negara yang
melahirkan problem bernegara.
Melalui reformasi, otonomi daerah
menjadi kebijakan yang dibuat untuk bisa membangun tata kelola baru yang lebih
baik dibanding masa sebelumnya. Otonomi daerah memiliki prinsip-prinsip yang
harus ada untuk bisa mencapai tujuan. Prinsip itu adalah:
1. Adanya pemberian
kewenangan dan hak kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya
sendiri
2. Dalam menjalankan
wewenang dan hak mengurus rumah tangganya, daerah tidak dapat menjalankan di
luar batas-batas wilayahnya
3. Penyelenggaraan
otonomi daerah harus dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,
pelayanan yang prima, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman
daerah.
4. Penyelenggaraan
otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemampuan daerah dan dilaksanakan
secara bertanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat.
5. Pelaksanaan otonomi
daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan
yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah
dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi yang utama yakni politik, ekonomi
serta sosial dan budaya.
1. Bidang politik.
Otonomi daerah adalah sebuah proses
untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih
secara demokratis. Memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan
yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu
mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik.
Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintah yang
sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karir politik dan
administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan
yang efektif.
2. Bidang ekonomi.
Otonomi daerah harus
menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah sekaligus
terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan
lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam
konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah
daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha
dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di
daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat
kesejahteraan yang lebih tinggi untuk masyarakat daerah
3. Bidang sosial budaya
Otonomi daerah digunakan untuk
menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara
nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan
masyarakat merespons dinamika kehidupan masyarakat.
Implementasi Otonomi
daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan banyak persoalan ketika
diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan
implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi
dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu
adalah:
1. Kewenangan yang
tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental
diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan
aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang
lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan
ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.
2. Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak
mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah
dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak
terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan
APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah
bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam
prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan
elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung
mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
3. Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada
masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya
standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan
yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah
mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS
dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala
mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan
mengabaikan profesionalitas jabatan.
4. Politik Identitas
Diri
Menguatnya politik identitas diri
selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha
melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah
dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis
5. Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu
pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat
secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang
mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan
politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan
seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
6. Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata
tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan
rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk
kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan
itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan
publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam
penentuan karir pegawai di daerah.
7. Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab
ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat.
Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan
nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari
pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal
dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih
didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan
nasional secara keseluruhan.
8. Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung
di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya
tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah
presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan
untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat
masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah
menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang
beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala
daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.
Penyelenggaraan otonomi daerah
diharapkan bisa memacu prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah untuk bisa
menjalankan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu
diperlukan keseriusan agar kebijakan ini bisa berhasil dijalankan. Pokok-pokok
penyelenggaraan otonomi daerah meliputi:
1. Penyerahan kewenangan
pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah. Kecuali untuk bidang
keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan
serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis nasional,
maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang lain dapat
didesentralisasikan.
2. Dalam otonomi
pemerintahan daerah terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan, yaitu
daerah kabupaten dan kota yang diberi status otonomi penuh dan propinsi yang
diberi otonomi terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi
pemerintahan pusat di daerah kabupaten dan kota, kecuali untuk bidang-bidang
yang dikecualikan tadi. Otonomi terbatas berarti adanya ruang yang tersedia
bagi pemerintah pusat untuk melakukan operasi di daerah propinsi.
3. Gubernur propinsi,
selain berstatus kepala daerah otonom, juga sebagai wakil pemerintah pusat.
Karena sistem otonomi tidak bertingkat (tidak ada hubungan hierarki antara
pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota), maka hubungan provinsi
dan kabupaten bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan. Sebagai wakil
pemerintah pusat, gubernur mengkoordinasikan tugas-tugas pemerintahan antar
kabupaten dan kota di wilayahnya. Gubernur juga melakukan supervisi terhadap
pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah pusat
serta bertanggung jawab mengawasi penyelenggaraan pemerintah berdasarkan otnomi
daerah di dalam wilayahnya.
4. Adanya penguatan
peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah. Otonomi daerah memberi
kewenangan untuk mempertegas DPRD dalam menilai keberhasilan atau kegagalan
kepemimpinan kepala daerah. Selain itu untuk memfungsikan peran pemberdayaan
dan penyalur aspirasi masyarakat yang sebenarnya.
5. Peningkatan
efektivitas fungsi-fungsi pelayanaan eksekutif melalui pembenahan organisasi
dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan
yang telah didesentralisasikan setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras
dengan kondisi daerah serta lebih responsif dengan kebutuhan daerah.
6. Peningkatan efisiensi
administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang jelas atas sumber-sumber
pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue dari sumber penerimaan yang
berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat
untuk pinjaman dan obligasi daerah.
7. Perwujudan
desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah pusat
yang bersifat ”block grant”, pengatura pembagian sumber-sumber pendapatan
daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas
pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui
lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
8. Pembinaan dan
pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif
terhadap uapaya memelihara harmoni sosial dan solidaritas sosial suatu bangsa.
Dalam otonomi daerah, ada pembagian
wewenang antara pemerintah pusat dan daerah yang diatur menurut UU No.32 tahun
2004. Pembagian wewenang itu meliputi:
1.
Kewewenangan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 3) meliputi:
a.
politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama;
b. pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama;
2.
Kewenangan Pemerintah Provinsi meliputi (Pasal 13 ayat 1 UU. No. 32 Tahun
2004):
1. Perencanaan dan
pengendalian pembangunan;
2. Perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. Penyediaan sarana dan
prasarana umum;
5. Penanganan bidang
kesehatan;
6. Penyelenggaraan
pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
7. Penanggulangan
masalah sosial lintas kabupaten/kota;
8. Pelayanan bidang
ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
9. Fasilitasi
pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
10. Pengendalian
lingkungan hidup;
11. Pelayanan pertanahan
termasuk lintas kabupaten/kota;
12. Pelayanan
kependudukan, dan catatan sipil;
13. Pelayanan
administrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan
administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
15. Penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan
16. urusan wajib lainnya
yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
3.
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 14 ayat 1, UU No. 32 Tahun 2004)
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
1. Kesimpulan
Kebijakan otonomi daerah telah
melahirkan sejumlah perubahan-perubahan yang cukup penting, terutama di daerah.
Di bidang politik, otonomi daerah berdampak positif bagi perkembangan demokrasi
lokal. Indikatornya antara lain misalnya, berfungsinya DPRD sebagai lembaga
legeslatif daerah. Pada era diberlakukannya UU No.5/1974, DPRD hanyalah
kelengkapan eksekutif daerah.
2. SARAN
Kebijakan Otonomi Daerah telah
melahirkan angin segar untuk pelibatan masyarakat, karena kebijakan ini diambil
dengan tujuan meningkatkan pelibatan masyarakat. Pemerintahan lokal secara
fisik memang lebih dekat dengan masyarakat sehingga masyarakat lebih mudah
mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah. Dan kebijakan yang diambil
umumnya langsung berkaitan dengan keseharian masyarakat.
Daftar
Pustaka..
http://www.transparansi.or.id/tentang/otonomi-daerah/